Sekilas kalimat ini terdengar asing di telinga kita,
khususnya orang awam yg tak pernah merasakan kejamnya belajar bahasa
Arab. Tajdiidun Niyyah artinya “pembaharuan niat”. Sebelumnya saya akn
mencoba menjelaskan sedikit tentang niat, setelah itu masuk ke “pembaharuan”
tadi. Bismillah.
Dalam Islam (dan saya yakin di agama lain juga begitu), niat
memiliki peran penting dalam setiap perbuatan manusia. Karena hampir semua
pekerjaan manusia diawali dengan niat. Niat menentukan apa balasan yg akan
didapat dari pekerjaan tersebut (walaupun pekerjaan tersebut baru mendapat
balasan; entah itu baik atau buruk, setelah benar-benar dikerjakan). Khalifah
Umar RA. pernah berkata, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّمَا الأعْمَالُ بِالنّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ
مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى
اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ
يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ - متفق عليه
Artinya: Sesungguhnya setiap pekerjaan itu dengan niat,
dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa-apa dari yg diniatkannya. Barang
siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya sampai kepada
Allah dan Rasul-nya. Barang siapa yang berhijrah karena dunia yang diingininya
atau perempuan yang dinikahininya, maka hijrahnya sampai kepada apa yg diniatkan
untuk berhijrah kepadanya.
Hadis ini diriwayatkan oleh kedua imam Bukhari dan Muslim.
Adapun sebab adanya hadis ini ialah peristiwa ketika hijrahnya kaum Muslimin
dari Makkah ke Madinah. Saat itu,
seluruh muslimin berbondong-bondong mengikuti nabi berhijrah. Dikisahkan ada
seseorang dari kaum Muslimin Makkah yg ikut hijrah dengan nabi, tapi tujuannya
berbeda dengan yang lain. Seluruh muslim berhijrah untuk mencari keridhoan
Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan lelaki ini, ia berhijrah ke Madinah dikarenakan ingin
menikahi seorang perempuan dari kaum Muslimin Madinah. Maka Allah
memberitahukannya kepada nabi, dan kemudian Rasulullah bersabda demikian.
Dari hadis ini tentu dapat kita pahami, bahwa seseorang bisa
saja mengerjakan pekerjaan yg sama persis dengan orang lain, bahkan lebih. Tapi
tak berarti apa yg didapatkannya dari pekerjaan tersebut sama dengan apa yang
didapatkan orang lain. Semuanya kembali kepada niat. Tentunya kita sering
mendengar istilah “haji mabrur”. Haji mabrur adalah haji yg benar-benar
diterima hajinya. Dengan kata lain, tak semua haji diterima hajinya. Hal ini
dikarenakan, ada yg berhaji dengan niat riya’, ada pula yg dengan niat
jalan-jalan, bahkan ada pula yg berniat untuk belanja. Na’udzubillah.
Contoh lain adalah puasa. Berapa banyak dari orang yg berpuasa tapi tak
mendapat apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus?
Maka kita perlu benar-benar menata niat kita sebelum
mengerjakan suatu pekerjaan. Mari kita flashback sedikit dengan
mengingat semua pekerjaan dan kegiatan yg kita lakukan setiap hari. Saya
berangkat ke masjid karena apa ya? Saya masuk kelas hari ini untuk apa sih?
Saya membaca Qur’an niatnya sebenarnya buat apa?. Selanjutnya, mari kita
introspeksi diri kita masing-masing; cukup dalam fikiran kita, tak perlu
diumbar-umbar. Selama ini apa yang saya kerjakan sudah benar belum?
Ingat, niat yg salah hanya akan membawa balasan yg salah juga. Kalau kita
memasang niat sekedar ingin riya’, dilihat orang, maka hanya itulah yg akan
kita dapatkan. Dan yg terakhir, mari kita ulangi lagi niat kita. Tentunya dengan
niat yg baik. Perlu diketahui, apabila seorang berniat untuk melakukan
kebaikan (berniat saja tapi belum melakukan), maka baginya satu pahala. Apabila
sudah dikerjakan maka baginya satu pahala lagi. Tapi sebaliknya, apabila
seorang berniat buruk (berniat saja tapi belum melakukan) maka TIDAK ada
baginya satu catatan dosa sampai ia benar-benar mengerjakanya.
Sedikit penambahan tentang niat sebelum masuk ke “pembaharuan”,
esensi dari kehidupan manusia; siapapun itu, adalah untuk beribadah kepada
Allah, Tuhan Penguasa Seluruh Alam. Jadi, seharusnya seluruh pekerjaan
kita diniatkan karena Allah. Salah ga kalau dikatakan, saya makan dan minum
untuk ibadah, saya belajar untuk Allah, saya berdagang untuk Islam? Saya rasa
hal ini tidak salah dan seharusnya memang begitu yg dikerjakan. Ibadah itu
luas, semua pekerjaan, perkataan, sifat, dan perkara yg berpoin baik adalah
ibadah; dengan catatan ditujukan kepada Allah, bukan yg lain. Tapi hal ini saya
akui sulit mudah diucapkan tapi sulit untuk dikerjakan. Mudah-mudahan Allah
memudahkan jalan kita, menguatkan hati kita untuk beribadah kepada Allah SWT.
Selanjutnya untuk "pembaharuan" saya akan memakai contoh, dan contohnya adalah
saya sendiri. Dulu sebelum masuk kuliah, saya berniat belajar sungguh-sungguh
agar bisa mengetahui benar-benar hakikat dari Allah sehingga saya bisa
benar-benar beribadah kepada-Nya (saya jurusan Ushuluddin di IIUM), niat
lainnya agar saya mampu mengajak teman-teman saya kembali ke jalan-Nya (dalam
bahasa saya, menjadi “orang yg berguna”).
Tak terbesit di hati saya, saya ingin kuliah ini karena saya ingin
kerja ini. Awal yg baik. Dan hari ini, tepat sebulan saya mulai kuliah. Seiring
berjalannya zaman, bertambahnya godaan, berkembangnya kemalasan, saya terkadang
mulai malas-malasan kuliah. Bahkan pernah juga saya berfikir untuk pindah
jurusan yg lebih “manusiawi”, sehingga mudah mendapat pekerjaan nanti. Saya
goyah, saya bimbang. Nah, di saat-saat seperti inilah kita membutuhkan yg
namanya Tajdiidun Niyyah, kita memperbarui niat kita. Maka dalam kasus saya,
saya harus mengingat-ingat kembali, apa sih niat saya dulu kuliah? Ohya saya kuliah untuk blablabla... Dan
hari ini saya memperbarui niat saya lagi, ya niat saya yg sudah usang dan
jamuran selama sebulan. Fungsinya agar saya dapat kembali bersemangat
sebagamana awal mula saya berniat dan mulai kuliah dulu. Chaiyoo!
Semua orang butuh pembaharuan niat. Tak ada jangka waktu yg
pasti, kapan kita harus tajdiid, kapan saja kita merasa goyah, segeralah
perbarui niat kita. Insyaallah setelah itu spirit kita akan kembali dan kita akan
lebih giat dalam pekerjaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar