Esoknya saya masuk kelas dengan muka santai, “Gimana pengecekan lemari kemarin? Ada yang terambil kaosnya, HPnya, laptopnya, atau kulkasnya mungkin?”, tanya saya sambil bercanda yang langsung disambut dengan keributan saling lempar-melempar ejekan ke temannya. “Ade ketahuan laptop ustadz”, kata yang satu. “Ngga ustadz, Julian yang bawa kulkas”, balasnya yang langsung disambung dengan koor tertawaan dari teman sekelas yang lain. “Sudah”, saya menengahi, “Ustadz dapat laporan dari beberapa orang ustadz, bahwa diantara antum ada yang ketahuan punya HP, rokok, kamera, dan alat elektronik lain”, sambung saya dengan wajah serius(sebenarnya laporan yang saya dapat hanya rokok, tapi untuk memancing saya sebutkan saja beberapa alat elektronik). “Isma’uu, dengarkan. Jadi sebelum ustadz bongkar, yang kemarin merasa ketahuan, silahkan antum mengaku ke ustadz sebelum besok. Ustadz tunggu di kamar ustadz. Kalau ngga mengaku, berarti siap untuk ustadz permasalahkan”, ancam saya. Satu kelas pun sunyi tanpa suara mendengar ancama saya.
Tapi sayang, ternyata ancaman saya belum cukup mengerikan. Sampai esok harinya saya masuk ke kelas itu lagi belum ada yang mengaku. Karena ini dan ditambah lagi mereka tidak mengumpulkan PR, emosi saya memuncak. Saya masuk ke kelas dengan wajah serius, tanpa senyum.
***
Di kamar, saya sibuk memikirkan akan saya apakan si Kumbang. Saya sempat berpikiran akan menyuruhnya merokok langsung satu kotak, atau makan satu kotak rokok, dan hukuman-hukuman berat lainnya. Sampai ketika saya ingat masa lalu saya.
***
Dulu ketika masih kelas 2 SMP, saya belajar merokok dari teman saya. Akhirnya kebiasaan merokok itu terbawa terus sampai saya masuk pondok. Ketika di pondok saya sering merokok ketika setelah makan di jemuran ataupun di kamar mandi. Tidak pernah ketahuan sampai saya berhenti merokok pada liburan tahun 2009. Itu menjadi rahasia saya yang tidak banyak orang ketahui.
Seolah ingin membuktikan kalimat Al-Waladu Sirru Abihi, sekarang saya mempunyai 32 anak, dan ternyata dari 32 anak itulah yang akhirnya menunjukkan rahasia saya selama ini. Rahasia bahwa saya pernah merokok di pondok, akhirnya ditunjukkan oleh Kumbang.
***
Setelah maghrib, saya sedang membaca Al-Qur’an di depan kamar. Tiba-tiba datang seorang anak dari arah belakang saya mengucapkan salam,
”Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam. Loh Kumbang? Limaza? Kenapa?”, tanya saya.
“Mau lapor ustadz”
“Lapor apa Kumbang?”, tanya saya saya pura-pura tidak tahu.
“Em… masalah kemarin ustadz”, jawabnya segan.
“Yang mana Kumbang?”, tanya saya lagi.
“Ana… ana merokok ustadz”, jawabnya sambil menunduk
“Ya… Ijlis Kumbang, duduk”, perintah saya sambil tersenyum lembut.
“Dari kapan kamu merokok, Kumbang?”, tanya saya lagi.
“Dari kelas 2 SD ustadz, diajarin sama teman”
“Dulu ustadz juga perokok, Kumbang, bahkan sampai ke pondok. Tapi ustadz berhenti”
“Kamu masih kecil Kumbang, masa depan kamu masih panjang”, lanjut saya.
“Kamu mau berhenti merokok Kumbang?”, tanya saya.
“Iya ustadz, ana mau berhenti merokok”
“Ya sudah,, ini berarti terakhir kali kamu merokok ya. Jangan pernah ngulangi lagi. Janji sama ustadz ya?”
“Iya ustadz, ana janji”, jawabnya.
Itulah akhirnya, saya tidak jadi menghukum Kumbang, karena saya melihat seolah ada sebagian dari saya yang terpendam pada anak itu. Perlahan, saya melihatnya berlari pergi, melihat diri saya dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar