2 tahun lalu, di suatu sore lebaran saya sekeluarga berkunjung ke rumah saudari saya yang biasanya mengantarkan anak-anak Tanjungpinang ke sebuah pondok tahfiz di Jombang. Setelah duduk sebentar, ada tamu lain yang datang, “Assalamu’alaikum”. Saya tidak memperhatikan siapa yang datang karena sudah terlalu capek keliling ke rumah-rumah saudari. “Kalau Mia masih di pondok, sekarang alhamdulillah sudah hafal lima juz”, sayup-sayup saya mendengar suara ibu saya dan seorang ibu yang baru datang. Saya penasaran, ternyata ada juga saudari saya yang masuk pondok. Akhirnya saya menoleh sekedar ingin tahu siapa tamu ini. Tamu itu empat orang, seorang ibu yang tadi bicara dengan ibu saya, seorang anak laki-laki SMA, seorang remaja putri berkerudung yang seumuran dengan abang saya, dan… seorang remaja putri berkerudung yang sedang tersipu manis mendengar namanya disebut oleh ibunya. “Kalau Mia ni seumuran Zul lah”, kata ibunya lagi. Secara otomatis remaja putri yang namanya Mia tadi melihat kearah saya. Secara tidak sengaja pandangan saya juga sedang mengararh ke arahnya. Dan diapun tersenyum begitu manisnya. Saya bingung mau berbuat apa. Sayapun hanya bisa membalas senyumnya dengan kikuk.
Sebenarnya itu bukan pertemuan pertama kali saya dengan Mia. Pagi harinya sebenarnya saya sudah sempat bertemu dengan keluarganya di rumah saudara saya yang lain. Tapi saat itu keluarga saya datang, dan keluarganya pergi. Saat itu saya tidak memperhatikan sama sekali kalau itulah Mia.
Sepulangnya dari rumah saudari saya tadi, saya terbayang-bayang wajah Mia. Sebenarnya Mia itu siapa?, batin saya bertanya. Di perjalanan, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu saya.
“Mak, yang tadi tu siape?”
“Itu tante Zur, kawan mamak dulu, masih saudari jauh lah”
“Yang tige orang tu anaknye ye?”
“Iyelah, yang agak besar tu namanye Yani, kawan bang Faisal”
“Yang lainnye?”
”Yang laki tu adek die lah yang paling kecik. Yang satu lagi adek die juge. Namanya Mia”
Mia?
“Mia tu baik, anak pondok, hafal Qur’am, Macam tu lah calon menantu yang baik”
Loh koq bawa-bawa menantu nih?
“Tapi same awak Zul, tak pantaslah. Awak tu degil macam tu. Pemalas lagi”
Namanya Mia. Kalau panjangnya saya kurang tahu. Tapi 3 huruf ini sudah cukup membuat saya membayangkannya. Melihatnya yang hafizah, saya terpanggil untuk mulai menghafal Qur’an. Alhamdulillah, sampai saat ini saya sudah mulai menghafal Al-Qur’an, walaupun masih sedikit. Mudah-mudahan saya dikuatkan tekadnya untuk terus menghafal Qur’an, karena kadang saya malas untuk mengulang-ulang hafalan saya.
***
Liburan tahun ini, saya sedikit banyak kenal dengan santriwati-santriwati yang pondoknya sama dengan saya. Kadang di rumah, saya senang memanas-manasi ibu dan adik saya dengan menyebut-nyebut nama santriwati-santriwati tersebut karena hp saya sering dicuri oleh ibu dan adik saya untuk melacak cewek mana yang saya sms.”Malam ini jalan sama aci ah!”, kata saya sengaja dengan suara keras. “Zul! Awak tu nak bejalan sama aci awak tau tak aci tu macam mane? Awak nak pandang orang banyak duit aje ke?”, balas ibu saya dengan suara tinggi. “Entah tu, cantik pun tidak”, kata adik saya menimpali. Biasanya ibu saya akan terus mengomel panjang lebar tentang masalah cewek. Tapi saya tidak mau kalah. “Takbiran sama siape ye? Sama Tiwi ah!”, teriak saya memanas-manasi. “Kau ni Zul! Tak paham ke ape mamak cakap? #$%^&@!?...”.
Suatu kali saya teringat dengan Mia. Apa kabarnya Mia ya?. Sayapun bertanya pada ibu, tapi karena takut diolok-olok maka saya pura-pura bertanya kabar keluarganya.
“Mak, dulu tu ada kawan mamak yang sering kite ketemu di rumak mak lang dam, siape namenye?”
“Siape? Banyaklah”
“Yang biasenye berempat pakai motor tu”
“Oh… Tante Zur?”
“Iye, die tu lah. Cam mane kabarnye sekarang?”
“Baik ajelah. Nape pula awak tanya2 die?”
“Tak ade. Nak tau aje. Anaknye tu yang di pondok siape namenye?”
“Mia?”
“Iye”
“Dah luluspun die, sekarang ni kuliah di keperawatan. Awak kenape pula nanye die?”
“Tak de lah..”
Sayapun pergi sambil tersenyum-senyum menunggu datangnya lebaran, karena Cuma di lebaran saya bakal bisa ketemu Mia.
Dan lebaran pun tiba.
Saya kembali berkunjung ke rumah saudara saya yang dulunya merupakan termpat pertama kali saya melihat Mia. Dari rumah saya sudah harap-harap cemas, apa saya bakal ketemu Mia lagi?. Kami sekeluargapun sampai dengan sambutan seperti tahun-tahun sebelumnya. Sambil makan-makan ibu saya dan saudari saya bercakap-cakap dengan serunya. “Zur baru aje pergi”, kata saudari saya. Zur? Tante Zur? Ibunya Mia?, batin saya. “Iye ke? Anak-anak die macam mane?”, balas ibu saya seolah tahu apa yang ingin saya utarakan. “Anak die yang paling kecik tu masih lagi di pondok, kalau Yani sama Mia di keperawatan”, jawab saudari saya yang disambung dengan koor Ooo… panjang dari ibu saya. “Anak die cantik-cantik Zul, apelagi Mia. Dah hafal Qur’an, cantik, baik, rajin lagi bantu mak die. Bolehlah tu Zul!”, kata saudari saya kepada saya sambil bercanda. “Iye ni Zul ni dari kemarin sebok nak bertanye Mia aje”, timpa ibu saya. “Kalau macam tu gampang lah. Bise lah diatur. Kan masih saudare juge Zur tu same die. Tenang ajelah Zul nanti kami yang aturkan tu”, goda saudari saya. Sayapun hanya bisa menundukkan mula sambil tersenyum malu.
“Nanti kalau jumpe kakak suruh ke rumah Zul ye!”, kata saudari saya yang baru menikah saat saya mau pulang. Saya senang tapi sedih juga. Soalnya ternyata saya tidak bisa bertemu dengan Mia pagi itu. Hari itu pun saya habiskan dengan melayat karena ada dua orang kerabat yang meninggal dan ke rumah-rumah saudara yang lain.
Keesokan harinya saat saya sedang membuka facebook, terdengarsuara, “Assalamu’alaikum”, sapa tamu yang baru datang. “Wah, rombongan ni ya”, sambut ibu saya. Ternyata itu rombongan keluarga besar saudara saya Deden. Sayapun menyibukkan diri menyiapkan minuman. Saat mengantarkan minuman ke ruang tengah, terdengar lagi suara salam, “Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikumsalam”, balas saya sambil keluar menyambut. Saya kira ada teman kerja ayah saya yang datang, tapi ternyata yang datang adalah Tante Zur dan keluarga!
Saya bingung mau ngapain, akhirnya saya persilahkan masuk ke dalam. Yang pertama masuk adalah Tante Zur, kemudian Yani, kemudian adiknya yang laki-laki, dan yang terakhir Mia. Dia melewati saya sambil tersenyum manis seperti dulu. Saya bingung, dan akhirnya hanya bisa membalas senyum kikuk sambil menunduk-nunduk.
Selama beberapa menit Mia di rumah, saya tidak berani muncul. Saya hanya berdiri di teras sambil memegang hp, bergaya seolah menunggu teman. Tapi, sebenarnya saya melirik ke Mia diam-diam.
Tak terasa, menit-menit berlalu begitu cepat. Mia akan segera pergi dengan saudaranya. Saya langsung berlari kedepan agar bisa melihatnya. Dan dia pun datang ke arah saya. Sambil mengatupkan tangan di dada, dia kembali tersenyum manis. Saya terpaku. Terdiam mengikuti arah perginya 2 motor itu. kita berpisah Mia, dengan senyumannya yang sampai saat ini masih di ingatan saya.
***
M-I-A. MIA. Mia.
Entahlah. Biar waktu aja yang menjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar