Kamis, 22 September 2011

Elegi Seorang Pengajar (1)


“Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan mengajar”
KH. Imam Zarkasy

Menjadi pengajar merupakan suatu pekerjaan yang mulia. Tugas seorang guru menyerupai tugas seorang nabi, menyampaikan yang haq, meng-islah yang batil, menerangi kegelapan dengan nuur ilmu.

Menjadi pengajar bukan sebuah profesi, tapi sebuah panggilan, amal dan investasi. Seorang pengajar yang besar bukanlah seorang pengajar yang sehari-harinya mengajar di sekolah-sekolah elit. Seorang pengajar yang besar adalah seorang pengajar yang mau menghabiskan waktunya mengajar di sebuah surau kecil di tengah hutan belantara dengan ikhlas.

Berbahagialah anda wahai pengajar!

Tapi, mengajar butuh perjuangan, pengorbanan, dan usaha tentunya.

Itulah sang pengajar, semoga saya termasuk salah seorang diantara mereka. Amin.


***

Setelah selesai dari studi saya selama empat tahun di pondok, merupakan kewajiban saya untuk mengamalkan ilmu yang sudah saya terima, yaitu dengan mengajarkannya kepada yang lainnya. Maka saya ditempatkan di sebuah pondok di Banyuwangi, pondok yang baru, nun jauh di ujung pulau Jawa.


Sebelum kami para pejuang akan berangkat ke pondok masing-masing, diadakan penataran guru baru selama 5 hari. Disini kami dipahamkan benar-benar bagaimana seorang pengajar itu. 5 Haripun usai, dan kami 480 orang menyebar ke segala penjuru Indonesia untuk memulai perjuangan baru kami.

Saya sampai di Banyuwangi ketika tengah malam. Jalan yang rusak menjadi sambutan Banyuwangi kepada kami, 70 orang pengajar baru di Banyuwangi. Memasuki jalan pondok, kegelapan datang menjemput kami. Kami yang menggunakan 2 bis membelah malam menuju pondok baru tercinta.

Esoknya, setelah shalat subuh, kami sempat berjalan-jalan di sekitar pondok sebelum pengarahan oleh bapak pengasuh. Ternyata menuju pondok harus melewati dua komplek kuburan dulu(itu yang komplek, yang menyebar di sisi-sisi jalan cukup banyak). Pondok ini dikelilingi oleh sungai yang berarus cukup besar. Katanya sih, diseberang sungai tersebut ada sebuah tempat yang bernama “Padang Bulan”. Kalau pondok kami sering disebut Daarul Aulaad(pondok putra), karena santrinya hanya laki-laki, maka Padang Bulan sering disebut Daarul Banaat(pondok putri), karena isinya perempuan semua. Tapi sayangnya mereka bukan santriwati. Mereka tunasusila.

Tapi bukan berarti kami sering main kesana. Tempat itu dilarang secara keras oleh pondok untuk didekati. Kadang ada beberapa dari mereka(tunasusila) itu yang mandi di sungai sekitar pondok sambil ketawa-ketiwi. Entah sengaja atu tidak. Wallahu A’lam.  Semoga saya dikuatkan imannya, semoga saya selalu terjaga dari maksiat.

Setelah pengarahan di masjid, bapak pengasuh pondok memanggil nama-nama wali kelas untuk diberikan surat yang didalamnya terdapat nama kelas. Kelas tersebutlah yang akan  menjadi “anak” dari wali kelas tersebut. “Ustadz Zulfian”, panggil bapak pengasuh sambil menyerahkan surat, “Mabruk ustadz”. Saya kembali ke tempat duduk. Pelan-pelan saya membuka surat yang di berikan. Tulisannya seperti ini:

“... Maka dengan pertimbangan diatas kami menunjuk Al-Ustadz Zulfian W Alwihkan untuk menjadi wali kelas 2-B (Pertama)...”



Maka saya resmi menjadi wali kelas 2B yang kira-kira setara dengan VIII SMP. Semoga semua yang saya kerjakan menjadi amal ibadah bagi saya.

Sore harinya, saya masuk ke kelas 2B untuk sekedar perkenalan dan pembagian jadwal pelajaran. “Assalamu’alaikum”, sapa saya ketika masuk ke kelas. Saya pandangi satu per satu wajah murid kelas 2B. Murid-murid yang akan berada dibawah asuhan saya saya selama 1 tahun kedepan. Ternyata, setelah saya teliti, dari 33 murid saya, ada 1 orang yang sampai saat ini belum masuk kelas, dan 2 orang yang ternyata tahun lalu juga kelas 2, alias tinggal kelas. Tapi saya tetap optimis bisa menyukseskan ke-33 orang ini. “Baiklah kita mulai kelas ini dengan bersama membaca Basmalah!”, seru saya di depan kelas yang diikuti dengan koor basmalah, pertanda satu lagi yang harus saya perjuangkan.

Awalnya saya kira tugas menjadi wali kelas hanya berkisar antara mengajar, mengecek bacaan Qur’an, serta mengecek hafalan Juz Amma. Tapi ternyata bukan cuma itu. Tugas seorang wali kelas lebih besar dari itu, karena seorang wali kelas adalah “ayah”, “kakak”, sekaligus “sahabat” bagi murid. Itu berarti saya harus siap membimbing, mengasuh, membantu, menasihati, juga mendengarkan keluh-kesah mereka.

***


Suatu maghrib, saya sedang ada rapat bapak pengasuh. Ketika selesai rapat hp bapk pengasuh berbunyi, “Siapa Pak? Ma’ruf Ihsan? Kelas berapa pak? 2B?”. Saya langsung mendekat ke arah bapak pengasuh karena mendengar kelas 2B disebut-sebut. “Siapa wali kelas 2B?”, tanya beliau. “Ana ustadz”, jawab saya. “Bapak langsung telepon ke wali kelasnya saja ya pak. Ini nomornya 0856*******, dengan ustadz Zul ya pak”, kata beliau kepada bapak yang menelpon di seberang sambil menutup telepon. “Ini wali santri nyari anaknyua, sepertinya ada masalah keluarga”, lanjut beliau kepada saya.
 
Kring... Kring..., tak lama kemudian hp saya berbunyi. “Dengan ustadz Zul? Brgini ustadz, saya ingin berbicara dengan anak saya Ma’ruf Ihsan. Ibunya sakit, jadi saya mau ngomong supaya Ma’ruf ga usah khawatir dengan ibunya”, kata beliau. “Iya pak, sebentar lagi anaknya saya cari”, kata saya. Malam itu juga saya mencari anak yang bernama Ma’ruf Ihsan. Walaupun saya wali kelasnya, saya belum mengenal wajah-wajah “anak-anak” saya. Setelah sekian lama saya mondar-mandir ke rayon-rayon, saya putus asa dan akhirnya memutuskan kembali ke kamar saya setelah menitipkan pesan kepada temannya agar dia datang ke kamar saya. Anak-anak saya ada 33 orang, kalau setiap wali santri meinta tolong begini bisa repot nih, pikir saya.

Ternyata ini bukan satu-satunya kasus saya harus berhubungan dengan wali santri. Setelah kasus itu, malamnya saya berniat keluar sebentar mencari makanan. Di perjalanan saya bertemu dengan seorang wali santri lagi, “Ustadz wali kelas 2B ya? Boleh minta nomor hpnya ustadz? Anak saya Witantra ustadz, tolong titip dia ya Ustadz”. Tambah satu orang lagi yang harus saya perhatikan. Bahkan sebelum saya berangkat dulu, ada seorang wali santri juga yang menitipkan anaknya. Kalau dipikir-pikir bukan cuma tiga orang ini yang dititipkan orangtuanya pada saya, tapi semuanya, 33 orang menjadi tanggung jawab saya. Hari pun berlalu, berganti malam, mengantarkan mata yang lelah ini tertutup.

***

Ketika saya menjadi santri dulu, saya sering tertidur atau pun tidur ketika pengajar sedang menerangkan pelajaran. Biasanya dengan marah, pengajar itu akan berkata, “Antum tau yang namanya karma? Boleh aja sekarang antum tidur-tidur di kelas tapi lihat saja nanti Antum nanti jadi ustadz, murid antum bakalan tidur juga. Ingat, karma pasti berlaku!”. Saat itu saya tidak peduli, yang penting saya senang. Tapi begitu hari kedua, saya mengajar di kelas 5B, saya baru menyesal dulu saya tidur di kelas. Karma benar-benar berlaku. Dari 35 orang yang hadir, sekitar 5 orangnya yang hidup, yang lain mati. Saya melihat bangku keempat, tempat kedua dari jendela, tempat saya dulu. Saya melihat seorang murid yang sedang nyenyak tidur dengan kepala di miringkan di atas meja. Sekilas saya melihat diri saya dulu ketika kelas 5. Di bangku yang sama, di tempat yang sama, saya sadar betapa kesalnya pengajar saya dulu.

Lebih-lebih terhadap kelas saya sendiri, terkadang saya kesal karena murid-murid saya tidur, ribut sendiri, bahkan sulit faham pelajaran. Ternyata repot menjadi pengajar, apalagi wali kelas. Pusing!


***

“Ustadz, kalau maghrib boleh ngga ke kamar antum buat baca Al-Qur’an”, kata seorang dari anak-anak saya. Maghrib itu kami sedang berbuka bersama di suatu kelas. “Ya, datang saja. Insya Allah Ustadz ada koq”, jawab saya. “Syukron ustadz”,  jawabnya gembira. Saat melihat wajahnya yang gembira itulah saya baru sadar. Saya palingkan wajah saya untuk melihat anak-anak saya yang lain. Wajah-wajah mereka, wajah-wajah yang butuh perhatian, pendidikan, serta kasih sayang. Saya sadar, tidak seharusnya saya kesal, tidak seharusnya saya marah-marah. Seharusnya saya bangga kepada mereka. Saya harus mendidik mereka, memperhatikan mereka, dan mengasihi mereka. Bukan sebagai beban, tapi sebagai pendidikan dan ibadah. “Besok yang mau datang ke kamar ustadz buat baca qur’an, mau curhat, ada masalah, mau nelepon tapi ga ada uang atau apa saja, silahkan datang. Ustadz tunggu”, kata saya bersemangat. Bismillah, saya harus kuat. Bagaimanapun juga mereka tetap anak-anak saya, anak-anak yang harus saya perjuangkan.

***

Hari-hari berlalu, tak terasa saya sudah seminggu di Banyuwangi. Banyak senang dan sedih ketika mengajar, kadang saya tertidur kecapekan di kantor, kadang saya harus tidur diatas jam 1 malam. Tapi saya tahu, semakin banyak saya berbuat, semakin banyak saya mendapat. Perjuangan saya belum berakhir, perjuangan di bumi Banyuwangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar