Senin, 11 Maret 2013

Wasiat dari Seorang Kyai

Saya berbicara kali ini betul-betul dengan ihlas. Hanya akan saya ambil sedikit-sedikit, dan singkatnya, atau pucuknya saja. Semua yang akan saya sampaikan ini bahkan sedikitnya direkam dan rekaman ini nanti mudah dijadikan buku dan dapat dibaca oleh seluruh umat, sampai sampai pada anak cucu saya sendiri dan anak-anaku sekalian yang ada.

Sebagai mukaddimah, jangan sampai salah terima, kalau pondok modern, Pak Sahal ataupun Pak Zarkasi, itu anti kepada siapapun yang menjadi pegawai, anti kepada priyai, anti kepada buruh, tidak!

Sama sekali tidak. Ini supaya dicatat lebih dulu. Saya tidak menghalangi, saya tidak anti, saya tidak memusuhi, orang yang menjadi pegawai. maka disini saya tekankan di dalam niatmu. Jangan salah niat, kalau sampai salah niat akan rugi hidupmu. Selama hidupmu hanya akan rugi karena salah niat.

Kalau saya, rumah tangga saya, anak istri cucu saya kebetulan kecukupan, jangan katakan saya ini bangga. Saya hanya bersukur saja. Hanya kebetulan, bukan sombong, dan tidak bangga.

Umpamanya masuk pondok modern ini ingin jadi pegawai, itu berarti niatmu sudah kalang kabut. Jangan sampai niatmu itu rusak. Maka disini saya beri jalan, bagaimana cara orang hidup.

Kalau sekarang anak-anak ini kebetulan melarat orang tuanya, jangan kecil hati. Sekiranya anak-anak ini kaya orang tuanya, jangan berbesar hati. Ini diantaranya saya anggap penting dalam pembicaraan saya ini. saya tidak punya apa-apa, tetapi berani hidup. BERANI HIDUP TAK TAKUT MATI. TAKUT MATI JANGAN HIDUP, TAKUT HIDUP MATI SAJA, ini semboyan saya.

Segala titah apapun, cacing-cacing, kutu-kutu, walang, kalajengking, kodok, kadal, semut, semua sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Ini yang saya pegang. Wamaa min dabbaatin fil ardi illa’allallaahi rizquha. Harrik yadaka undzil alaikan rizqo. Ini harus diingat, gerakkan tanganmu dan Allah akan menurunkan rezeki kepadamu.

Sungguh saya sudah tidak punya apa-apa. Konsekuensinya saya digoda sampai melarat habis-habisan, tapi pikiran saya tidak sampai lepas.”Kumlawe gumreged”, kumlawe artinya tangan digerakkan dan gumreged artinya makan.

Jangan kecil hati karena tidak menjadi pegawai. menghadapi hidup jangan kecil hati, betul-betul jangan kecil hati. Pada suatu masa, beban akan menimpa keluarga, sebagaimana yang pernah dialami keluarga saya. Bagaimana orang tua saya menyekolahkan anak-anaknya, apa yang saya pakai untuk menyekolahkan anak-anak saya.

Anak saya sekolah ini, anak pak lurah sekolah HIS yang uang sekolahnya sampai 3 gulden atau 3 rupiah, artinya padi satu kuintal. Tapi saya bismillah, tanah saya sebelah sana sebanyak seperempat hektar telah saya wakafkan, yang sebelah situ setengah hektar pun sudah saya wakfkan. Hanya tanaman itu (pohon kelapa), selama anak pak sahal masih sekolah hasilnya masih tetap dipungut untuk menyekolahkan anak-anak pak sahal. Yang berarti anak-anak itu akan meneruskan cita-cita pak Sahal.

Itu diantara nasib yang saya alami tetapi tetap berani, berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja.

Tak perlu korupsi bisa hidup. Jangan kecil hati. Jangan edan-edanan. Saya tidak anti kalau anak-anakku nanti menjadi mahasiswa, menjadi sarjana, kemudian menjadi pegawai, jadi buruh, gajinya sebulan dua puluh lima ribu sampai lima puluh ribu. Tapi jangan kesana tekanannya. Jangan terlalu menggaris bawahi kesana, sampai-sampai lupa kepada tugasnya.

Kalau orang sudah menjadi pegawai mati otaknya. Ini tidak semua, tapi pada umumnya. Sudah sekolah setengah mati, masuk tsyanawiyah terus masuk ke gontor lalu menjadi mahasiswa, ahirnya menjadi pegawai, lupa segalanya. Kitabnya tidak dibaca lagi. Tabligh tidak mau. Nasib rakyat tidak dipedulikan, hanya mengumpul dengan anak istrinya. KHIANAT…… KHIANAT…..

Hanya menghitung-hitung, tanggal berapa ini? kurang berapa lagi sebulan? Kapan naik pangkatnya? Kapan naik gaji? Kapan ini? Kapan itu? Hidupnya jor-joran denggan kawan-kawannya. Naudzubillah……

Sudah mondok sekian lamanya belajar agama seperti tafsir, hadist, dan lainnya. Tidak untuk mengurus tabligh, tidak untuk ngurus, tidak untuk apa-apa. Hilang setelah jadi pegawai. Sudah lupa kepada masyarakat, sudah lupa kepada negara, sudah lupa kepada nasib agama.

Masih untung kalau mau sembahyang atau jum’atan, itulah pegawai. Boleh dilihat jadi pegawai sepuluh atau duapuluh tahun belum bisa buat rumah. Itu biasa, paling-paling kalung sebentar, cincin sebentar, Honda sebentar.

Jangan sampai anak-anak sekalian menyandarkan warisan orang tua. Warisan tidak memberkahi, anggaplah tidak akan menerima warisan. Hidup self help, berani menolong diri sendiri. Maka kalau hanya menyandarkan hanya pada orang tua itu namanya kere, pengemis. Kalau memang jantan, tidak usah menerima warisan orang tua, seperti Triumurti, Pak Sahal, Pak Zarkasih, dan Pak Fanani. Ayah saya hanya mempunyai sawah tidak lebih dari satu hektar, tapi anak-anaknya seperti saya, Pak Lurah, Pak Fanani, Pak Zar dan lainnya, sabar.

Pegang doran, pegang cangkul, betul-betul petani. Pak Lurah sepuh, ayahnya Pak Iwuk, juga mencangkul. Saya pun demikian, tapi tidak kecil hati. Zaman dulu, kalau orang sudah sekolah Belanda itu merasa orang nigrat. Merasa orang terpandang, merasa maju, orang yang cerdas, karena sekolah disekolahkan Belanda. Tapi ayah saya tidak demikian, ayah saya seorang kiyai di desa, tetapi terpandang, jujur, adil dan di cintai.

Menjadi murid atau santri pondok modern jangan kecil hati. Kamu itu belum apa-apa, besarkan hatimu. Yen wanio ing gampang, wedio ing pakewuh, sabarang ora kelakon, ini wasiat Ramayana, artinya : “Kalau hanya ingin enak saja, takut kesulitan, takut kesukaran hidup, apa saja tidak akan tercapai”. Hidup adalah perjuangan, lieben is treigen. Itulah manusia hidup di dunia. jangan takut hidup. Ini yang harus dipegang mulai dari sekarang.

Yang lebih penting lagi adalah jujur. Percaya kepada Allah. Jangan kecil hati. Inilah yang saya amanatkan. Amanat yang saya pidatokan, yang pertama kali mengenai iqtisyodiyyah, mengenai ekonomi, pengupa jiwa, golek sundang pangan, sangune urep.

Jangan sampai anak-anakku iri kepada kawan-kawannya yang menjadi pegawai. iri kepada orang yang mendapatkan gaji. Sekali lagi jangan kecil hati. Jangan salah niat. Ini yang saya pertama kali tanamkan kepada anak-anakku.

Jangan takut hidup. Yang penting iman kuat. Jaga kehormatan, insyaallah cukup rezeki. Ini saja anak-anakku, mudah-mudahan ada manfaatnya, ada berkahnya, untuk hidup di dunia akhirat, khusnul khotimah.

KH. Ahmad Sahal
Salah satu trimurti pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor,
Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar