Selasa, 25 Oktober 2011

FISH-EYE

Kamis, 13 Oktober 2011
RSI Fathimah, 09.40,


“Coba posisinya tengkurap”
“Begini dok?”
“Satu badan tengkurap, santai aja”
“Kalo sambil smsan gimana dok?”
“Gapapa malah bagus supaya ga kerasa”
“…”
Ini Rumah Sakit serius apa ngga sih??

“Ini biusnya agak sakit, jadi ditahan ya”
“Iya dok… Auw!”
“Gimana rasanya? Agak tebal kan kulitnya?”
“I… iya dok”



***
Pagi itu adalah pagi yang cerah, seperti wajah para suster dan dokter itu, cerah dengan senyum tersungging di bibir mereka. Mungkin mereka senang karena pagi itu akan mendapatkan objek operasi penyakit yang termasuk langka. Secerah-cerahnya pagi dan wajah mereka, semuram-muramnya wajah saya. Tidak pernah masuk dalam kamus saya untuk menjalani operasi. Apalagi dengan penyakit ini, mata ikan. Semuanya karena dulu saya sering main bola di tempat yang becek tanpa sepatu. Jadi, anda yang masih senang dengan olahraga yang satu ini, kenakanlah sepatu yang baik, sebelum anda menyesal.

Operasi berjalan tidak terlalu lama, sekitar 40 menit. Bagian yang paling menyiksa tentu saja pembiusan yang menembus kulit bahkan mugkin daging. Tak lama kemudian semuanya menghilang. Tidak, tidak semua sih. Kaki kiri saya pelan-pelan menghilang. Efek bius. Tapi masih agak terasa ketika kulit kaki saya dibelah. Tak ingin ambil pusing, saya ambil HP, sms-an.

Selesai penjahitan, saya duduk untuk melihat bagaimana rupa kaki kiri saya. Ternyata seperti ini rasanya dijahit. Setelah puas, kaki saya pun diperban layaknya orang patah kaki. Ketika itulah Indonesia menangis. Bukan, bukan menangisi kaki saya yang kelihatan seperti bekas pembalap jatuh. Indonesia menangis karena terjadi bencana alam di Nusa Dua, Bali. Gempa berkekuatan 6,8 SR menggemparkan pulau Bali. Geteran tersebut sampai ke berbagai kota. Bahkan disebutkan sampai juga ke Jogja. Gempa itu terjadi bertepatan dengan pemasangan perban saya. Dokter, suster, pasien, penjenguk, semuanya berlarian keluar. Saya pasrah, dengan kaki seperti ini tak mungkin saya berlari. Ajaibnya, suster yang memasang perban saya seolah tidak sadar dengan keadaan di sekelilingnya. Dia memasangkan perban saya sambil tersenyum kecil. "Sus, gempa. Ada gempa, suster!", kataku. "Gempa?", jawabnya. Hebatnya dia tidak berlari meninggalkan saya. Tapi malah meneruskan pekerjaannya tanpa rasa takut. Tanpanya, mungkin saya sudah teriak-teriak sendirian seperti korban jambret. Gempa pun usai. Tanpa masalah berarti. Thanx suster!.

Pulang ke kamar, saya langsung Online di facebook, karena jujur saja, saya tidak merasakan kesakitan yang terlalu berarti. Sehabis OL, saya pun tertidur pulas. Jam 15.00, saya terbangun karena kesakitan luar biasa. Saya baru sadar, saya lupa satu hal, biusnya baru habis sekarang!

Setelah kejadian itu, saya seperti menghilang dari kehidupan pondok. Saya tidak kuat berjalan. Jangankan mengajar, ke kamar mandi saja saya harus memakai tongkat. Bahkan di kamar, saya lebih senang merangkak daripada berjalan. Makanan mau tak mau diambilkan. Seminggu lebih saya di kamar. Tak pernah kelihatan lagi di pondok ini. Menghilang di telan perban.

***

Seminggu telah berlalu. Pondok ini akan mengadakan pekan perkenalan yang diadakan di lapangan bola. Setiap penghuni pondok wajib mengikuti acara ini. Mau tidak mau saya mengikuti acara ini, tentunya dengan perban yang masih melekat di kaki saya. Setelah acara, biasanya banyak yang mengadakan perfotoan, karena ini merupakan acara sekali setehun. Akhirnya, saya ikut berfoto dengan kelas saya dan kamar saya. Yang lain memakai sepatu, sedangkan saya memakai sandal. No problem.

Esoknya, saya pergi lagi ke rumah sakit untuk melepaskan jahitan. Selesai dari rumah sakit, saya ke pasar sebentar untuk membeli sandal. Kaki saya saat itu sudah enak buat berjalan, sampai datangnya musibah. Ketika saya sedang asyik memilih sandal, tiba-tiba dari belakang ada seorang anak pondok yang melintas. Kejadiannya begitu cepat. Kaki saya tersenggol. Alhasil, kaki saya sukses berdarah kembali. Bahkan sampai perban yang menutupi tadi harus diganti dengan yang baru karena penuh dengan darah.

***

Saat ini, saya dalam tahap pengeringan luka. Tapi saya sudah mengajar walaupun tidak memakai sepatu, tapi sandal. Mohon doanya, supaya luka ini cepat kering.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar